I.
PENDAHULUAN
Kepercayaan pada adanya Tuhan adalah dasar yang utama dalam faham
keagamaan. Tiap-tiap agama selain Budhisme yang asli dan beberapa agama lain
berdasar atas kepercayaan pada sesuatu kekuatan ghaib dan cara hidup tiap-tiap
manusia yang percaya pada agama di dunia ini amat rapat hubungannya dengan
kepercayaan tersebut. Kekuatan ghaib itu, kecuali pada agama-agam primitive,
disebut Tuhan. Konsep tentang Tuhan berbagai macam. Oleh karena itu filsafat
agama merasa penting untuk mempelajari perkembangan paham-paham
yang berbeda itu.
Alam merupakan limpahan dari Tuhan. Dalam pencipta Alam melahirkan
kebudayaan yakni Animal simbolicon dan Makhluk Paradoks. Yangmana dalam Makhluk
Paradoks terdapat 3 bagian yakni georientasi jasmani dan rohani;
georientasi dunia dan akhirat; georientasi individu dan social; georientasi
bebas dan terikat.
Kekhasan manusia ialah sifatnya yang multidimensional. Manusia
terdiri dari “jiwa, badan dan roh”. Sedangkan sifat Tuhan atau disebut aqal
yakni tidak berbeda dari substansi-Nya, karena Dia adalah Esa. Tuhan ialah aqal
murni semata-mata. Yang menghalang-halangi sesuatu menjadi aqal dan berpikir
ialah benda. Kalau ujud sesuatu tidak memerlukan benda, adalah sesuatu itu
benar-benar aqal. [1]
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian filsafat ketuhanan?
2.
Apa saja esensi yang terkandung dalam ketuhanan?
3. Bagaimana
yang dimaksud dengan jiwa?
4.
Apa saja konsep Tuhan menurut filsafat?
5.
Apa saja konsep Tuhan menurut Manusia?
III.
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Ketuhanan
Filsafat ketuhanan adalah pemikiran tentang tuhan
dengan pendekatan akal budi, maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis
bagi orang yang menganut agama tertentu ( terutama agama islam kristen, yhudi),
akan menambahakan pendekatan wahyu didalam usaha memikirkannya. jadi filsafat
ketuhanan pemikiran para manusia dengan pendakatan akal budi tentang Tuhan. Usaha
yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan tuhan secara absolute atau
mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk
sampai pada kebenaran kepada tuhan.
B. Esensi pada
Tuhan
Berikut
ini adalah esensina yakni,:
1)
Esensi kesempurnaan Tuhan
2)
Sifat-sifat dan perbuatan, dan
3)
Keberadaannya.
Al-Farabi
berusaha sungguh-sungguh untuk menunjukkan keesaan Tuhan dalam sifat dan
ketunggalan-Nya dalam jumlah, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak lain ialah
substansi-Nya sendiri.[2]
C. Konsep Ketuhanan
Menurut Filsafat
Beberapa pendapat filosof muslim tentang
konsep ketuhanan:
Mulla Sadra berpegang pada konsep manifestasi
yaitu Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber
segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya
suatu wujud yang oleh filosuf disebut dengan akal pertama, akal pertama ini
memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan
Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di
bawah Tuhan.[3]
Ibnu Sina menggunakan mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah
fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah
ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke
arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan. Tidak
terpikir bahwa kemungkinan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan
bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke
arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni
dalam hubungan alam dengan Tuhan.
D. Argumen tentang
Adanya Tuhan oleh Filsafat Agama
Berikut
adalah argumen dari Filsafat agama yang diajukan tentang adanya tuhan antara lain:
1. Argumen
ontologis
Argumen ontologis dimajukan pertama
kali oleh Plato (428-348 S.I) dengan teori idenya. Tiap-tiap yang ada dialam
nyata ini menurut Plato mesti ada idenya. Yang dimaksudnnya dengan ide ialah
definisi atau konsep universil dari tiap sesuatu. Dengan teori ide ini Plato
mencoba membuktikan bahwa alam bersumber pada sesuatu kekuatan Ghaib yang
bernama the absolute, atau mutlak baik.
2. Argumen kosmologis
Argumen kosmologis ini berasal dari
Ariestoteles(354-322 SI), Murid Plato kalau bagi Plato tiap yang ada dalam alam
mempunyai ide, bagi ariestoteles tiap benda yang dapat ditangkap dengan panca
indera mempunyai materi dan bentuk.
Bentuk terdapat dalam benda-benda sendiri (bukan diluar benda, sebagai ide
Plato), dan bentuklah yang membuat materi mempunyai bangunan atau rupa. Bentuk
bukan merupakan bayangan, sebagai ide Plato, tetapi adalah dari hakikat
sesuatu. Bentuk tak dapat berdiri sendiri terlepas dari materi. Materi dan
bentuk selamanya satu materi tanpa bentuk tak ada. Materi dan bentuk hanya
dalam akal dapat dipisahkan. Antara bentuk dan materi ada hubungan gerak. Yang
menggerakkan ialah bentuk dan yang dugerkan ialah materi. Materi adalah
potensialitas dan karena itu akan berubah, jadi bergerak. Bentuk sebaliknya
aktualitas, jadi tak berubah dan kekal. Sebagai aktualitas bentuk sempurna.
Materi sebagai potensialitas tak sempurna. Bentuk dalam arti penggerak mestilah
sempurna sesempurnannya, hanya satu dan merupakan akal. Akal inilah tuhan.
Tuhan dalam faham ini tidak mempunyai sifat pencipta alam (materi kekal)
hubugannya dengan alam hanya merupakan hubungan penggerak dengan yang
digerakkan.
3.
Argumen moral
Diantara argumen-argumen yang ada
tentang adanya tuhan, argumen morallah pada pendapat ahli-ahli filosof agama
yang terpenting dan terkuat. Argumen moral ini banyak dihubungkan dengan nama
Immanuel kant (1724-1804). Menurt kant agrgumen-argumen diatas mempunyai
kelemahan dan tak dapat membawa kepada keyakinan tentang adannya tuhan. Menurut
pendapatnya argumen moril inilah yang benar-benar membawa kepada keyakinan.
Menurut kant logika tak dapat membawa keyakinan tentang adanya tuhan dan oleh
karena itu ia pergi kepada perasaan. Perasaan inilah yang dapat membuktikan
dengan sejelas-jelasnnya bahwa tuhan itu mesti ada. Kalau akal memberi
kebebasan bagi manusia untuk percaya atau tidak percaya pada agama tuhan, hati
sanubari memberi perintah kepadannya untuk percaya bahwa tuhan itu ada. Argumen
moral ini dapat disederhanakan lagi seperti berikut. Kalau manusia merasa bahwa
dalam dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjalkan yang baik dan menjauhi
perbuatan buruk dan kalau perintah ini buan diperoleh dari pengalaman tetapi
telah terdapat dalam diri manusia, maka perintah itu mesti berasal dari suatu
zat yang tau akan baik dan buruk. Zat inilah yang disebut tuhan.
Perbuatan baik dan buruk mengandung
arti nilai-nilai. Nilai itu bukan berasal dari manusia tetapi telah terdapat
dalam dirinya. Nilai-nilai ini berasal dari luar manusia, dari suatu zat yang
lebih tinggi dari manusia, dan zat inilah yang disebut tuhan. Selanjutnnya
adanya nilai itu mengandung arti adannya pencipta nilai. Pencipta nilai inilah
yang disebut tuhan.[4]
E. Filsafat
Manusia
1.
Ajaran tentang Jiwa
Thomas yakin bahwa roh atau jiwa pada
hakikatnya berlainan dari materi dan makhlukh hidup. Akal-budi membentuk
ide-ide dengan membuat abstraksi atas ruang dan waktu. Ruang dan waktu adalah
khas untuk segala materi. Refleksi atas diri sendiri membuktikan bahwa manusia
bersifat rohaniah. Pripnsip yang memungkinkan aku berpikir dan memilih sendiri bukan
materi, tetapi prinsip itu sendiri materiil, dapat berdiri sendiri. Inilah
unsur Platonis dalam Filsafat Thomas.
Jiwa berfungsi sebagai bentuk badan (forma
corporis). Jiwa tidak ada tanpa badan, dan badan bukan badan manusia jika tidak
memiliki jiwa. Inilah unsur Aristoteles (hilomorfisme).
1)
Plato menganggap bahwa jiwa sebagai pusat atau inti sari
kepribadian manusia.[5]
2)
Menurut Pythagoras jiwa itu tidak dapat mati. Sesudah kematian
manusia jiwanya berpindah ke dalam hewan, dan bila hewan itu mati, ia berpindah
lagi, dan seterusnya. Tetapi dengan menyucikan dirinya, jiwa bisa diluputkan
dari nasib reinkarnasi itu. Penyucian itu dihasilkan dengan berpantangan jenis
makanan tertentu, seperti daging hewan dan kacang. Memenuhi peraturan-peraturan
semacam itu adalah unsur penting dalam kehidupan kaum Pythagorean.[6]
2.
Bagian-bagian Jiwa
Plato menghubungkan ketiga bagian jiwa yakni “bagian keinginan”
mempunyai pengendalian diri (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk
“bagian keberanian” keutamaan yang spesifik adalah kegagahan (andreia).
Dan “bagian rasional dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis atau
sophia). Disamping itu ada lagi keadilan (dikaiosyne) yang
tugasnya ialah menjamin keseimbangan antara ketiga bagian jiwa. Dengan demikian
Plato menggabungkan keempat keutamaan yang terpenting yang kemudian menjadi
klasik. Dalam bahasa inggris, keempat keutamaan ini disebut “the cardinal
virtues” (temperance, fortitude, prudence, justice).
F. Konsep Manusia menurut Filsafat
Manusia sebagai makhluk yang materalis, bersifat zat, satu-satunya
yang diperlukannya adalah materi pula, dan kepuasaannya atau kebagiaannya juga
terletak dalam materi. Maka terbentuklah pandangan
dan sikap hidup materialisma.[7]
Filsafat manusia adalah bagian dari filsafat
yang secara khusus membahas hakikat manusia. Pada zaman yunani kuno orang sudah
mengenal ungkapan yang berbunyi, “kenalilah dirimu sendiri”. Socrates merupakan
filusuf pertama yang menganggap bahwa ungkapan ini sebagai ungkapan
kefilsafatan yang pokok, beliaulah yang secara tidak langsung memaksa manusia
untuk berfikir secara lebih dalam agar mengetahui tentang dirinya sendiri.
Konsep Sosialisme Marx berasal dari
konsepnya tentang manusia. Oleh karenanya, jelaslah kini bahwa, menurut konsep
tentang manusia ini, sosialisme bukan sebuah masyarakat yang tersusun atas
individu-individu yang diatur dan otomatis yang mengabaikan apakah mereka
memiliki pendapatan yang cukup atau tidak dan yang mengabaikan apakah pangan dan
sandang mereka mencukupi dengan baik atau tidak. [8]
Berakar dari keseluruhan konsep
manusia, kebutuhan-kebutuhannya yang nyata berakar pada wataknya; perbedaan
antara kebutuhan-kebutuhan yang nyata dan semu, hanya dimungkinkan dengan
melihat gambaran watak manusia dan kebutuhan manusia yang sebenarnya dan
didasarkan pada watak manusia. Kebutuhan manusia yang sebenarnya merupakan
kebutuhan yang pemenuhannya di tujukan untuk mewujudkan esensinya sebagai
manusia. Sebagaimana Marx katakana, “Esensi dari apa yang sebenarnya saya
cintai saya rasakan sebagai sebuah kebutuhan yang esensinya saya dapat
memenuhinya, memuaskannya, dan melengkapinya” hanya dengan mendasar pada konsep
khusus tentang watak manusia, Marx dapat membuat perbedaan antara kebutuhan
manusia yang sebenarnya dan yang semu. Secara subjektif, kebutuhan semu
dirasakan sebagai kebutuhan yang urgen dan nyata, dan dari sudut pandang yang
subjektif, tidak ada sebuah kriteria untuk membedakan kebutuhan semua dan
nyata. Seringkali manusia hanya menyadari kebutuhan yang semu dan tidak
menyadari kebutuhannya yang nyata.
Dalam kesalahpahaman terhadap konsep
Marx, Bisa dikatakan bahwa gambaran pupoler materialisme Marx ini –
kecenderungan anti-spiritualnya, hasratnya pada keseragaman dan subordinasi –
sama sekali tidak benar. Tujuan Marx adalah pembebasan spiritual manusia,
pemmbebasan manusia dalam keseluruhan kemanusiaannya, membuat manusia agar
dapat menemukan kesatuan dan harmoni dengan sesamanya dan alam semesta.
1.
Aspek manusia
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa manusia itu terdiri atas dua aspek yang
esensial, yakni tubuh dan jiwa. Melihat peran dan fungsi dari kedua aspek yang
saling berhubungan maka dapat dipersoalkan mana yang lebih penting tubuh atau
jiwa, maka timbullah beberapa aliran, yaitu :
1)
Aliran matrealisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang penting
adalah tubuh manusia sedangkan jiwa dalam tubuh merupakan masalah yang kurang
penting karena jiwa hanya membonceng saja dalam tubuh salah seorang tokohnnya
adalah Ludwig Feuerbach(1804-1872) yang berpendapat bahwa dibalik manusia tidak
ada makhluk lain yang misterius yang disebut jiwa, seperti tidak adanya tuhan
dibalik alam ini.
(Materialisme Historis Marx)
Orang-orang yang percaya konsep materialism dan materialisme historis ini
sebagai sebuah filsafat yang mengklaim bahwa kebutuhan manusia akan materi
hasratnya untuk memperoleh semakin banyak materi dan kesenangan merupakan
motivasi utama mausia, melupakan fakta kecil bahwa kata-kata idealism dan
materialism yang dipakai Marx dan semua filosof lain tidak mempunyai
keterkaitan dengan motivasi psikis terhadap tingkat spiritual yang lebih rendah
dan mendasar.
Marx menentang materialisme mekanis
dan borjuis, yakni materialisme abstrak dalam sains alam yang mengabaikan sejarah
dan prosesnya.
Marx mendeskripsikan metode
historisnya sendiri secara sangat ringkas, “cara dimana manusia memproduksi
alat-alat penghidupannya. Pertama-tama tergantung pada sifat dari alat actual
yang ditemukan manusia dalam eksistensinya dan harus dibuatnya kembali. Mode
produksi ini tidak bisa dianggap begitu saja sebagai reproduksi eksistensi
fisik individu-individu ini. Tetapi mode produksi lebih sebagai sebuah bentuk
aktivitas individu-individu yang jelas, sebuah mode kehidupan manusia yang pasti.
Individu-individu tersebut ada ketika mereka mengekspresikan kehidupannya.
Seperti apa mereka, oleh karenanya, serupa dengan produksinya, yaitu dengan apa
yang mereka produksi. Sifat individu makanya tergantung pada kondisi-kondisi
materilnya, yang selanjutkan untuk menentukan produksi mereka.”[9]
Sifat
paradoksal terhapus dalam filsafat Materialisme dan Spiritualisme. Dalam
pandangan Materialisme, seluruh evolusi dari materi anorganis ke hidup
vegetatif, sensitif dan hidup intelektual tidak lain daripada tambahan
kompleksitas materi. Tambahan kompleksitas ini diuraikan dalam ilmu-ilmu
positif dengan metode-metode empiris.
Sifat
paradoksal terhapus dalam filsafat Materialisme dan Spiritualisme. Dalam
pandangan Materialisme, seluruh evolusi dari materi anorganis ke hidup
vegetatif, sensitif dan hidup intelektual tidak lain daripada tambahan
kompleksitas materi. Tambahan kompleksitas ini diuraikan dalam ilmu-ilmu
positif dengan metode-metode empiris.
Lain halnya
dengan spiritualisme. Titik tolak spiritualisme adalah kenyataan bahwa dunia
tidak pernah terlepas dari aku yang berpikir, aku yang berbicara, aku yang
melihat, merasa, meraba dan membayangkan. Seluruh kenyataan jasmaniah
direduksikan oleh idealisme menjadi rohaniah. Dalam idealisme Fitche dan Hegel,
roh adalah satu-satunya kenyataan.
Pada kedua cara
manusia dalam mengenal diri yang tidak terpisahkan meskipun sungguh-sungguh
berlainan. Cara pertama, yaitu pengenalan melalui indra yang
disempurnakan dalam metode ilmu alam. Melalui pengenalan indrawi ini kita
mengenal diri sebagai “Matter”. Cara kedua, yaitu pengenalan melalui “Self-reflection”
yang disempurnakan oleh metode yang khas ilmu manusia. Melalui refleksi manusia
mengenal diri sebagai makhluk rohaniah. Baik metode pertama maupun yang kedua
bersifat abstrak, yaitu hanya melihat aspek tertentu dari seluruh kenyataan.
Teilhard de Chardin melihat bahwa
manusia (molecule humaine) sebagai bunga seluruh evolusi. Manusia
mempunyai sifat kerohanian yang diketahui melalui refleksi (the inside) maupun
sifat kejasmanian yang nyata dalam tambahan kompleksitas (the outside).
Evolusi dapat menghasilkan manusia sebagai bunganya karena bahan awal dari
semula bersifat rohaniah dan jasmaniah. [10]
2)
Aliran spiritualisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang terpenting
pada diri manusia ada jiwa (psyche). Tokohnya antara lain Plato (427-347 SM),
berpendapat bahwa jiwa lebih agumg daripada badan jiwa telah ada “alam atas”
sebelum masuk dalam badan, jiwa itu terjatuh kedalam hidup duniawi, lalu
terikat kepada badan dan lahirlah manusia yang fana. Dalam kerukunannya, jiwa
dan badan tidak berdiri berdampingan secara setingkat, melainkan jiwa adalah
sesuatu yang keadaanya bergerak sehingga mempunyai taraf realitas yang lain
jenis.
Lain halnya
dengan spiritualisme. Titik tolak spiritualisme adalah kenyataan bahwa dunia
tidak pernah terlepas dari aku yang berpikir, aku yang berbicara, aku yang
melihat, merasa, meraba dan membayangkan. Seluruh kenyataan jasmaniah
direduksikan oleh idealisme menjadi rohaniah. Dalam idealisme Fitche dan Hegel,
roh adalah satu-satunya kenyataan.
Pada kedua cara
manusia dalam mengenal diri yang tidak terpisahkan meskipun sungguh-sungguh
berlainan. Cara pertama, yaitu pengenalan melalui indra yang
disempurnakan dalam metode ilmu alam. Melalui pengenalan indrawi ini kita
mengenal diri sebagai “Matter”. Cara kedua, yaitu pengenalan melalui “Self-reflection”
yang disempurnakan oleh metode yang khas ilmu manusia. Melalui refleksi manusia
mengenal diri sebagai makhluk rohaniah. Baik metode pertama maupun yang kedua
bersifat abstrak, yaitu hanya melihat aspek tertentu dari seluruh kenyataan.
Teilhard de Chardin melihat bahwa manusia (molecule humaine)
sebagai bunga seluruh evolusi. Manusia mempunyai sifat kerohanian yang
diketahui melalui refleksi (the inside) maupun sifat kejasmanian yang
nyata dalam tambahan kompleksitas (the outside). Evolusi dapat
menghasilkan manusia sebagai bunganya karena bahan awal dari semula bersifat
rohaniah dan jasmaniah. [11]
3)
Aliran Dualisme atau Serbadua
Aliran ini berpendapat bahwa tubuh dan jiwa
sama pentingnya. Tokohnya antara lain Rene Descrates (1596-1650), yang
mengatakan bahwa jiwa adalah subtansi yang berpkir, sedangkan badan sebagai
subtansi, yang berkeluasan. Hubungan jiwa dan badan bukanlah sesuatu yang
ditambahkan, melainkan sesuatu yang hakiki sehingga tanpa salahsatu unsur itu
bukan merupakan insan. Jiwa dan tubuh merupakan subtansi yang tersendiri yang
lengkap sebagai insan.
Sesungguhnya serbadua merupakan pandangan orang biasa setiap hari,
yang tidak memikirkan segala sesuatu lebih dalam. Ia dipengaruhi oleh
pertantangan yang berlangsung setiap saat di hadapan mata. Segala sesuatu
ditinjaunya dalam konfrontasi dan perjuangan. Misalnya: antara terang dan
gelap, laki-laki dan perempuan, tinggi dan rendah, benar dan salah, baik dan
buruk dan…. Zat dan ruh. Dalam tiap bahasa selalu kita temukan pertantangan
antara zat dan ruh, jiwa dan raga, nyawa dan badan, dan sebagainya. Quran pun
mengatakan, bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan berpasang-pasangan, supaya
dapat kita pikirkan.[12]
Berikut adalah tokoh dualisme yakni,:
yang berpendapat bahwa budi adalah
substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan
jelas budi dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai
tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan
jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang.[4] Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan
semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap
sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan
materialisme non-emergent. [13]
2.
Manusia itu Animal
Rationale dan Animal Syimbolicium
Menurut Aristoteles Manusia didefinisikan
Animal Rational, seekor hewan yang dilengkapi dengan akal budi. Gambaran itu
kini sangat berubah. Disatu pihak manusia lebih dekat pada hewan-hewan, di
pihak lain selaku makhluk hidup sebagai sebuah organisme jasmaniyah, ia berbeda
dengan hewan-hewan. Ernest Cassirer berpendapat bahwa manusia merupakan animal
simbolicum, dunia manusia merupakan dunia yang ditafsirkan. Manusia tidak dapat
dilukiskan berdasarkan data-data biologis, melainkan perbuatan kebudayaannya.[14]
IV.
KESIMPULAN
Filsafat ketuhanan adalah pemikiran tentang tuhan
dengan pendekatan akal budi, maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis
bagi orang yang menganut agama tertentu ( terutama agama islam kristen, yhudi),
akan menambahakan pendekatan wahyu didalam usaha memikirkannya. jadi filsafat
ketuhanan pemikiran para manusia dengan pendakatan akal budi tentang Tuhan. Berikut ini adalah esensina yakni,:
1. Esensi
kesempurnaan Tuhan
2.
Sifat-sifat dan perbuatan, dan
3.
Keberadaannya.
Jiwa sebagai pusat atau inti sari
kepribadian manusia. Berakar dari keseluruhan konsep manusia,
kebutuhan-kebutuhannya yang nyata berakar pada wataknya; perbedaan antara
kebutuhan-kebutuhan yang nyata dan semu, hanya dimungkinkan dengan melihat
gambaran watak manusia dan kebutuhan manusia yang sebenarnya dan didasarkan pada
watak manusia. Kebutuhan manusia yang sebenarnya merupakan kebutuhan yang
pemenuhannya di tujukan untuk mewujudkan esensinya sebagai manusia. Sebagaimana
Marx katakana, “Esensi dari apa yang sebenarnya saya cintai saya rasakan
sebagai sebuah kebutuhan yang esensinya saya dapat memenuhinya, memuaskannya,
dan melengkapinya” hanya dengan mendasar pada konsep khusus tentang watak
manusia, Marx dapat membuat perbedaan antara kebutuhan manusia yang sebenarnya
dan yang semu. Secara subjektif, kebutuhan semu dirasakan sebagai
kebutuhan yang urgen dan nyata, dan dari sudut pandang yang subjektif, tidak
ada sebuah kriteria untuk membedakan kebutuhan semua dan nyata. Seringkali
manusia hanya menyadari kebutuhan yang semu dan tidak menyadari kebutuhannya
yang nyata.
Mulla Sadra berpegang pada konsep manifestasi
yaitu Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber
segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya
suatu wujud yang oleh filosuf disebut dengan akal pertama, akal pertama ini
memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan
Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di
bawah Tuhan.
Ibnu Sina menggunakan mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah
fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah
ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke
arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan. Tidak
terpikir bahwa kemungkinan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan
bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke
arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni
dalam hubungan alam dengan Tuhan.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan tentang konsep ketuhanan dan manusia. Kritik dan saran yang
membangun untuk memperbaiki makalah ini. Tentunnya sangat kami butuhkan untuk
memperbaiki makalah yang akan datang.
Daftar Pustaka
Surajiyo.Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.
Nasution,Harun.Filsafat Agama,Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973.
Fikr,Rausyan. Mulla Shadra:Jurnal Filsafat
& Mistisme.Yogyakarta: Volume1,nomor1,2010. (ISSN)
Galzaba,sidi.Sistematika filsafat,Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Bertens,K.Sejarah Filsafat Yunani,Yogyakarta: KANISIUS,1975.
Snijders,Adelbert.Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan
Seruan,Yogyakarta: KANISIUS,2004.
Fromm,Erich.Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002.
[1] Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat.Jakarta: Bulan
Bintang,1996. Hlm. 48
[2] Ibid. Hlm. 49
[3]https://eurekamal.wordpress.com/2007/06/25/konsep-ketuhanan-dalam-filsafat-shadrian/(diakses pada tanggal 21 mei 2015 pukul 19:30 WIB).
[10] Snijders,Adelbert.Antropologi
Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan,Yogyakarta: KANISIUS,2004. Hlm.108
[11] Ibid.Hlm. 109
Komentar
Posting Komentar