I.
I. PENDAHULUAN
Filsafat adalah berfikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap segala
sesuatu sampai kepada inti persoalan. Filsafat berasal dari kata Yunani yang
tersusun dari dua kata yaitu philos dan Sophia. Philos berarti senang, gemar
atau cinta, sedangkan Sophia dapat diartikan sebagai kebijaksanaan. Dengan
begitu filsafat dapat diartikan sebagai suatu kecintaan kepada kebijaksanaan.
Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk
proses, artinya segala upaya pemikiran untuk selalu mencari hal-hal yang
bijaksana. Bijaksana di dalamnya mengandung dua makna yaitu baik dan benar.
Baik adalah sesuatu yang berdimensi etika, sedangkan benar adalah sesuatu yang
berdimensi rasional. Jadi sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis dan
logis. Dengan demikian, berfilsafat berarti selalu berusaha untuk berfikir guna
mencapai kebaikan dan kebenaran. Berfikir dalam filsafat bukan sembarang
berfikir, namun berfikir secara radikal sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu
meskipun berfilsafat mengandung kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan
berfikir berarti filsafat atau berfilsafat. Sutan Takdir Alisjahbana (1981)
menyatakan bahwa pekerjaan berfilsafat itu adalah berfikir dan hanya manusia
yang telah tiba di tingkat berfikir, yang berfilsafat.
Dengan demikian apabila para pakar menganggap bahwa ilmu tertua serta
induk segala ilmu adala filsafat. Sehingga pada tingkat terakhir pendidikan
keilmuan senantiasa diberi gelar Philosopy Doctor yang disingkat Ph.D. Maka di
dalam al-Qura juga terkandung segala disiplin ilmu mulai dari ilmu-ilmu social
sampai dengan ilmu-ilmu eksakta.
II.
II. RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian
obyek kajian dalam filsafat?
B.
Perbedaan
obyek material dan obyek formal filsafat!
C.
Pengertian
pembidangan dalam kajian filsafat?
D.
Jenis-jenis
pendekatan dalam kajian filsafat!
E.
Contoh
beberapa kajian filsafat menurut pendekatnnya!
III.
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian obyek dalam filsafat
Objek adalah sesuatu yang menjadi pokok pembicaraan, dengan
demikiancobjek merupakan sesuatu yang akan diamati, diteliti dan dipelajari
serta dibahas sebagai kajian inti. Dalam penjabarannya objek tersebut terdiri
dari objek material dan objek formal.
1.
Objek
Material
Setiap objek material dari suatu disiplin ilmu pengetahuan bisa
saja sama dengan objek material ilmu pengetahuan yang lain, sehingga pokok
bahasannya saling bertumpang-tindih (disebut convergency). Itulah sebabnya objek material ini disebut juga
sebagai subject matter. Sebagai contoh ilmu politik, ilmu
pemerintahan, administrasi negara, hukum tata negara dan ilmu negara sendiri
bertumpang tindih karena sama-sama membahas negara sebagai obyek
materialnya. Oleh karena itu disebut
sebagai ilmu-ilmu kenegaraan.
Begitu juga dengan filsafat sebagai induk segala ilmu yang memiliki
objek materialnya akal yang sekaligus juga harus berdialektika dengan budi dan
rasa sebagai objek material berikutnya,
senantiasa bertumpang tindih dengan ilmu-ilmu lain bahkan seluruh disiplin ilmu
pengetahuan.[1]
Filsafat
yang memiiki unsur logika, etika dan estetika memiliki objek material yaitu
akal untuk logika, budi untuk etika dan rasa untuk estetika. Dapat dikaji oleh
berbagai unsur penjabarannya, oleh karenanya menjadi objek material semua ilmu.
Budi menjadi objek material semua moral, dan rasa menjadi objek material semua
seni secara universal, bagaimanapun kemudian diberi nuansa pengolahan. Tetapi
karena kebenaran itu sendiri, kebaikan itu sendiri hanya di bahas secara khusus
oleh filsafat. Maka kebaikan, kebenaran dan keindahan menjadi objek
materialnya.[2]
Objek material mencakup apa saja, baik
hal-hal konkret ataupun hal-hal yang abstrak. Objek material dari filsafat ada
beberapa istilah dari para cendikiawan, namun itu sebenarnya tidak ada yang
bertentangan.
1. Mohammad Noor Syam berpendapat,”para ahli
menerangakan bawa obek filsafat itu dibedakan atas objek material atau obek
materiil filsafat; segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, aiik materiil
konkret,psikis maupun nonmaterial abstrak,psikis. Termasul pula pengertian
abstrak logis, konsepsional, spiritual dan nilai-nilai. Dengan demikian, objek
filsafat tidk terbatas’. (mohammad noor syam, 1981, hal 12)
2. Poedjawijatna berendapat, “jadi, objek
material filsafat ialah ada dan yang mungkin ada. Datkah dikatakan bahwa
filsafat itu keseluruhan dari segala ilmu yang menyelidi segala sesuatunya
juga?” dapat dikatakan bahwa objek filsafat yang kami maksdu adalah objek
materialnya-sama dengan objek material
dari ilmu seluruhnya. Akan tetapi, filsafat tetap filsafat sddan bukan
merupakan kumpulan atau keseluruhan ilmu’. (poedjawijatna,1980, hal.8)
3. Oemar Amir Hoesin berpendapat, masalah
lapangan penyelidikan filsafat adalah ‘karena manusia mempunyai kecenderungan
hendak berfikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap segala yang
ada dan yang mungkin ada. Objek sebagaimana tersebut adalah menjadi objek
material filsafat’.
4. Louis O. kattasoff berpendapat, ‘lapangan
kerja filsafat itu bukan main luasnya, meliputi segala pengetahuan manusia
serta segala sesuatu apa saja yang ingin diketahui manusia’. (burahnuddin
salam, 1988, hal.39)
5. H.A. dardiri berpendapat, objek material
filsafat adalah segala sesuatu yang ad, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam
kenyataan maupun ada dalam kemungkinan’. Kemudin, apakah gerangan segala
sesuatu yang ada itu?
Segala sesuatu yang ada dapat dibagi dua, yaitu:
a. Ada yang bersifat umum
b. Ada yang bersifat khusus
Ilmu yang menyelidiki tentang hal ada pada
umumnya disebut ontology.adapun ada yang bersifat khusus dibagi menjadi dua,
yaitu ada yang mutlak da nada yang tidak mutlak. Ilmu yang menyelidiki tentang
ada yang bersifat mutlak disebut theodicea. Ada yang tidak mutlak dibagi
menjadi dua yaitu alam dan manusia. Ilmu yang menyelidiki alam disebut
kosmologi dan ilmu yang menyelidiki manusia disebut antropologi metafisik.
(H.A.Darduri, 1986, hal. 13-14)
6. Abbas Hamami M. berpendapat, ‘sehingga
dalam filsafat objek materiil itu adalah ada yang mengatakan, alam semesta
semua keberadaan masalah hidup, masalah manusia, masalah Tuhan, dan lainnya.
Karena untuk menjadikan satu pendapat tentang tumpuan yang berbeda akhirbya
dikatakan bahwa segala sesuatu yang ‘ada’lah yang merupakan objek materiil’.
(Abbas Hamami M., 1976, hal. 5-6)
Setelah meneropong berbagai pendapat dari
para ahli di atas dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa objek material dari filsafat sangat luas mencakup egala
sesuatu yang ada.
Adapun permasalahan dalam kefilsafatan
mengandung ciri-ciri seperti yang dikemukakan Ali Mudhofir (1996), yaitu
sebagai berikut:
a. Brsifat sangat umum. Artinya, peroalan
kefilsafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus. Sebagian besar
maslah kefilsafatan berkaitan ide-ide besar.
b. Tidak menyangkit fakta disebabkan persoalan
filsafat lebih bersifat spekulatif. Persoalan yang dihadapi dapat melampaui
pengetahuan ilmiah.
c. Bersangkuta dengan nilai-nilai (values),
artinya persoalan kefilsafatan bertalian dengan nilai, baik niai mral, etetis,
agama, dan social.
d. Bersifat kritis, artinya filsafat erupakan
analisis secara kritis terhadp konsep dan arti yang biasanya diterima dengan
begitu saja oleh suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis.
e. Bersifat sinoptik, artinya persoalan
filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan.
f. Bersifat implikatif, artinya kalau sesuatu
persoalan kefilsafatan sudah dijawab, dari jawaban tersebut akan memunculkan
persoalan baru yang saling berhubungan.[3]
2.
Objek
Formal
Objek formal
yaitu sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu, atau sudt dri mana objek material itu disorot. Objek formal
suatu ilmu tidak hanya emberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama
membedakannya dari bidang-bidang lain. Suatu objek material dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandagan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya,
objek mterialnya adalah “manusia” dan manusia ditinjau dari sudut pandangan
yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia
diantaranya psikologi, antropologi, sosiologi, dan sebagainya.
Objek formal
filsafat, yaitu sudut pandangan yang menyeluruh, secara umum sehingga dapat
mencapai hakikat dari objek materialnya. Oleh karena itu, yang membedakan
antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain terletak dalam objek material dan objek
formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek meterialnya membatasi diri,
sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Adapun objek formalnya membahas
objek materialnya itu sampai ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya.[4]
B.
Perbedaan obyek material dan obyek formal filsafat
Objek material filsafat
merupakan suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu atau hal yang di selidiki, di pandang atau di sorot oleh suatu
disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik hal-hal yang konkrit ataupun yang
abstrak. Sedangkan Objek formal filsafat ilmu tidak terbatas pada apa
yang mampu diindrawi saja, melainkan seluruh hakikat sesuatu baik yang nyata
maupun yang abstrak.
Obyek material filsafat
ilmu itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita)
sedangkan objek formal filsafat ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus
dan empiris. objek material mempelajari secara langsung pekerjaan akal dan
mengevaluasi hasil-hasil dari objek formal ilmu itu dan mengujinya dengan
realisasi praktis yang sebenarnya. Sedangkan Obyek formal filsafat ilmu
menyelidiki segala sesuatu itu guna mengerti sedalam dalamnya, atau mengerti
obyek material itu secara hakiki, mengerti kodrat segala sesuatu itu secara
mendalam (to know the nature of everything). Obyek formal inilah sudut
pandangan yang membedakan watak filsafat dengan pengetahuan. Karena filsafat
berusaha mengerti sesuatu sedalam dalamnya.
Merupakan objek yang secara
wujudnya dapat dijadikan bahan telaahan dalam berfikir. Menurut Endang Saefudin
Anshori (1981) objek material filsafat adalah segala sesuatu yang berwujud,
yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu :
1. Hakekat Tuhan
2. Hakekat Alam
3. Hakekat manusia
Obyek material Filsafat
ilmu yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik materi konkret,
psisik, maupun yang material abstrak, psikis. Termasuk pula pengertian
abstrak-logis, konsepsional, spiritual, nilai-nilai. Dengan demikian obyek
filsafat tak terbatas, yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Objek
material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang
tampak dan ada yang tidak tampak. Objek material yang sama dapat dikaji oleh
banyak ilmu lain. ada yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang
tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosof membagi objek material
filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam
pikiran dan yang ada dalam kemungkinan.[5]
C.
Pengertian pembidangan dalam kajian filsafat
Pembidangan dalam kajia filsafat merupakan salah satu cara untuk
membatasi atau menyelidiki suatu filsafat.
Penerapan filsafat itu sendiri secara garis besar dan global
melalui tataran dibawah ini:
1.
Tataran
Ontologi atau Metafisika
Ø
Ontologi
Tokoh yang
mebuat istilah ontology adalah Christian Wolff. Istilah ontology berasal dari
bahasa Yunani, yaitu ta onta yang berarti “yang berada”, dan logi berarti
ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontology adalah ilmu pengetahuan
atau ajaran tentang yang berada.
Persoalan
dalam keberadaan menurut Ali Mudhofir da tiga pandangan, yang masing-masing
menimbulkan aliran yang berdeda. Tiga segi pandangan itu adalah sebagai
berikut:
1. Keberadaan Dipandang dari Segi Jumlah (Kuantitas)
Keberadaan dipandang dari segi jumlah
(kuantitas), artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Pandangan
ini melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya, yaitu sebagai
berikut:
a. Monisme
Aliran yang
menyatakan bahwa hanya satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat
berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat diketahui.
Tokohnya antara lain: Thales yang berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam
adalah satu substansi, yaitu air. Anaximander berkeyakinan bahwa yang merupakan
kenyataan terdalam adalah Aperion , yaitu sesuatu yang tanpa batas, tidak dapat
ditentukan dan tidak memiliki prrsamaan dengan salah satu benda yang ada dalam
dunia. Anaximenes berkeyakinan bahwa yang merupakan unsur kenyataan yang
sedalam-dalamnya adalah udara. Filsuf modern yang termasuk penganut monism adalah
B. sponoza, berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Dalam hal
ini Tuhan diidentikkan dengan alam (naturans
naturata).
b. Dualisme (Serba Dua)
Aliran yang
menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri.
Tokoh-tokohnya yang termasuk alirn ini adalah Plato yang membedakan dua dunia,
yaitu dunia indera (dunia baying-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi
rasio manusia). Rene Descrates yang membedakan substansi pikiran dan substansi
keluasan. Leibniz yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang
mungkin. Immanuel Kant yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia
hakiki (noumena).
c. Pluralisme (Serba Banyak)
Aliran yang
tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi.
Para filsuf yang termasuk pluralism di antaraya Empedokles yang menyatakan
bahwa hakikat kenyataan terdiri atas empat unsur, yaitu udara, api, air, dan
tanah. Anaxogoras yang menyatakan bawa hakikat kenyataan terdiri atas
unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan
semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Dikatakannya
bahwa nous adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai
bergerak dan mengatur. Leibniz manyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas monade-monade
yang tidak berluas, selalu bergerak, tidak terbagi, dan tidak dapat rusak.
Setiap monade saling berhubungan dalam suatu system yang sebelumnya telah
diselaraskan “hormania prestabilia”.
2. Keberadaan Dipandang dari Segi Sifat (Kualitas)
Keberadaan
dipandang dari segi sifat (kualitas) menimbulkan beberapa aliran sebagai
berikut:
a. Spiritualisme
Spiritualisme mengandung beberapa arti, yaitu:
1) Ajaran yang menyatakan bahwa keyataan yang terdallam adalah roh (pneuma,
Nous, Reason, Logos), yakni roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.
Spiritualisme dalam arti ini dilawankan dengan materialisme.
2) Kadang-kadang dikenakan pada pandangan
idealistis yang menyatakan adanya roh mutlak. Dunia indera dalam
pengertian ini dipandang sebagai dunia ide.
3) Dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari
roh suci dalam bidang agama.
4) Kepercayaan bahwa roh orang mati berkomunikasi dengan orang yang masih
hidup melalui perantara atau orang tertentu dan lewat bentuk wujud yang lain .
Aliran spiritualisme
juga disebut idealism (serba cita). Tokoh aliran ini diantaranya Plato dengan
ajarannya tentang idea (cita) dan jiwa. Idea atau cita adalah gambaran asli
segala benda. Semua yang ada dalam dunia hanyalah penjelmaan atau bayangan saja.
Idea atau cita tidak dapat ditangkap dengan indera (dicerap), tetapi dapat
dipikirkan, sedangkan yang ditangkap oleh indera manusia hanyalah dunia
baying-bayang.
b. Materialisme
Adalah
pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang nyata kecuali materi.
Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi yang dapat dikembalikan
pada unsur-unsur fisik. Materi merupakan sesuatu yang kelihatan, dapat diraba,
dibentuk dan menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran,
jiwa, keyakinan, rasa sedih dan rasa senangtidak lain hanyalah ungkapan proses
kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain Demokritos, berkeyakinan bahwa alam
semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan. Atom ini
mempunyai sifat yang sama, perbedaannya hanya tentang besar, bentuk, dan
letaknya. Jiwa pun, menurut Demokratos dikatakan terjadi dari atom-atom, hanya
saja atom-atom jiwa itu lebih kecil, bulat, dan amat mudah bergerak. Thomas
Hobbes berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak
materi dan materi. Termasuk juga pikiran, perasaan merupakan gerak materi
belaka karena segala sesuatu yang terjadi dari benda-benda ecil. Bagi Thomas
Hobbes, filsafat sama dengan ilmu yang memplajari benda-benda.
3. Keberadaan Dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan
Aliran yang berusaha menjawab persoalan ini
adalah sebagai berikut:
a. Mekanisme
Menyatakan
bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan asas-asa mekanik (mesin). Semua
peristiwa merupakan hasil dari materi yang bergerak dan dapat dijelaskan
menurut kaidahnya. Aliran ini juga menerangkan semua peristiwa berdasarkan pada
sebab kerja (efficient cause), yang dilawankan dengan sebab tujuan (final
cause). Alam dianggap seperti sebuah mesin yang keseluruhan fungsinya ditentukan
secara otomatis oleh bagian-bagiannya. Pandangan yang bercorak mekanistik dalam
kosmologi pertama kali diajukan oleh Leucippus dan Democritus yang berpendirian
bahwa alam dapat diteranngkan berdasarkan pada atom-atom yang bergerak dalam
ruang kosong. Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei dan filsuf lainnya
dalam abad ke-17 sebagai filsafat mekanik.
Rene
Descartes menganggap bahwa hakikat materi adalah keluasan (extension),
dan semua gejala fisik dapat diterangkan dengan kaidah-kaidah mekanik. Bagi
Immanuel Kant, kepastian dari suatu kejadian sesuai dengan kaidh sebab akibat (causality)
sebagai suatu kaidah alam.
b. Teleologi (Serba-Tujuan)
Berpendirian
bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat, akan
tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan
alam ke suatu tujuan.
Plato
membedakan antara ide dengan materi. Tujuan berlaku di alam ide, sedangkan
kaidah sebab akibat berlaku dalam materi.
Menurut
Aristoteles, untuk melihat kenyataan yang sesungguhnya kita harus memahami
empat sebab, yaitu sebab bahan (material cause), sebab bentuk (formal cause),
sebab kerja (efficient cause) dan sebab tujuan (final cause). Dibidang ini
semata-mata berkuasa yang kaidah sebab akibat yang pasti. Sebaliknya, segala
kejadian tujuannya adalah menimbulkan sesuatu bentuk atau sesuatu tenaga.
Namun, dikatakan juga bahwa kegiatan alam mengandung suatu tujuan. Sehubungan
dengan masalah ini kaidah sebab akibat hanyalah alat bagi alam untuk mencapai
tujuannya.
c. Vitalisme
Memandang
bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika-kimiawi, karena
hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme seperti henry
Bergson menyebutkan elan vital. Dikatakannya bahwa elan vital merupakan sumber
dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asas hidup ini memimpin dan
mengatur geala hidup dan menyesuaikannya dengan tujuan hidup. Oleh karena itu,
vitalisme sering juga dinamakan finalisme.
Organisisme,
aliran ini biasanya dilawankan dengan mekanisme dan vitalisme. Menurut
organisisme, hidup adalah suatu struktur yang dinamis, suatu kebetulan yang
memiliki bagian yang heterogen, akan tetapi yang utaa adalah adanya system yang
teratur. Semua bagian bekerja di bawah kebulatannya.[6]
Ø
Metafisika
Perkataan
metafisika berasal dari bahasa Yunani, meta yang berarti selain, sesudah atau
sebaliknya, dan fisika berarti alam nyata. Jadi metafisika merupakan ilmu yang
menyelidiki hakikat segala sesuatu dari alam nyata dengan tidah terbatas pada
apa yang dapat ditangkap oleh panca indera.
Pengertian
metafiskia menurt van Peursen adalah bagian filsafat yang memuatkan
perhatiannya pada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala
adanya kita.
Nama
metafisika tidak pernah dipakai Aristoteles sendiri. Pendapat orang terdahulu,
bahwa nama itu berasal dari Andronikos dari Rhodos. Andronikos inilah yang
menemukan sejumlah tulisan mengenai fisika, namun yang membicarakan sesuatu
yang bersifat lebih umum dari segala sesuatu yang dibicarakan dalam fisika. Andronikos
memberikan nama himpunan bagi tulisan-tulisan tersebut, yaitu metata physika.
Berdasarkan atas pemberian nama itu, pada awal zaman pertengahan muncul istilah
metafisika untuk menunjukkan ajaran kefilsafatan tertentu.
Aristoteles
sendiri tidak mengenal istilah ontologia dan metafisika, tetapi beliau memberi
nama tersendiri terhadap ilmu pengetahuan, yaitu prote philosophia yang berarti
filsafat pertama/bagian filsafat yang utama.
Aristoteles
berpendapat bahwa objek dari metafisika itu ada dua macam, yaitu yang ada
sebagai yang ada, dan yang-ilahi.
Para filsuf
Elea (Parmenides, Zeno dll) berpendapat, bahwa gerak dan perubahan adalah
khalayan. Aristoteles menentang mereka itu. “Yang ada” dalam arti yang mutlak
adalah apa yang telah berwujud. “yang tidak ada” hanya dapatmenjadi “yang ada”
secara mutlak, atau menjadi “yang ada” secara terwujud, jikalau melalui
sesuatu. Diantara “yang tidak ada” dan “yang ada” secara mutlak itu terdaat
“ada yang nyata-nata mungkin, atau “yang ada” sebagai kemungkinan, bakat,
potensi, maupun sebagai dinamis.
Menurut
Aristotees, pada zaman pertengahan di mana zamannya Al Ghazal hidup yang
dijumpai hanyalah nama metafisika. Pada wktu itu ajaran mengenai yang-ada dan
pembicaraan secara kefilsafatan mengenai Tuhan sudah termuat dalam ilmu
pengetahuan yang dinamakan metafisika. Pada waktu itu orang beranggapan bahwa
kedua macam masalah tersebut yang satu tidak dapat dipisahkan dengan yang lain.
Pada abad ke
17 dan 18 orang muai mengadakan pemilihan terhadap berbagai bagian dari metafisika.
Yang paling berpengaruh ialah pemilihan yang dilakukan Christian Wloff, yaitu metaphysica
generalis (ontologia) dan metaphisica specialis (membahas penerapan
asas-asas/prinsip-prinsip tersebut terhadap bidang-bidang yang khusus). Dalam
metaphisica specialis dibagi menjadi tiga, yaitu cosmologia, psichologia,
theologia.
Dari uraian
di atas, tampak antara metafisika dan ontology pada mulanya istilahnya satu,
yaitu metafisika. Kemudian pada abad ke 17 mulai antara metafisika dan ontology
dipilahkan.
Prof. B.
Delgaauv membedakan antara ontologi dan metafiisika melihat dari objeknya.
Objek yang bias ditangkap dengan panca indra termasuk masalah ontologi,
sedangkan objek yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra termasuk bidang
metafisika.
Louis O. Kattsoff
juga membedakan antara metafisika dan ontologi. Metafisika adalah pengetahuan
yang mempersoalkan hakikat terakhir eksistensi, yang erat hubungannya dengan
ilmu pengetahuan alam. Ada dua persoalan dalam metafisika, yaitu sebagai
berikut:
·
Apakah jiwa kita sebagai gejala sesuatu
zat, atau pada hakikatnya berbeda dengan suatu zat.
·
Dari mana asal kosmos, apa hakikat ruang
dan waktu?
Adapun
ontologi adalah ilmu yang mencari esensi dari eksistensi yang terakhir. Jadi,
persolan yang pertama menyangkut masalah ontologi. Dengan demikian menurut
Louis O. Kattsoff, ontologi adalah bagian dari metafisika.[7]
2.
Tataran
Epistemologi
Epistemologi
berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa
diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan pikiran, kata
atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan
yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa
inggrisnya Theory of Knowledge.
Istilah-istilah
lain yang setara maksudnya dengan epistemologi dalam pelbagai kepustakaan
filsafat kadang-kadang disebut juga logika material, criteriology, kritika
pengetahuan, gnoseologia, filsafat pengetahuan.
a. Logika Material
Istilah logika material sudah mengandaikan adanya ilmu
pengetahuan yang lain yang disebut logika formal. Sesungguhnya istilah logika
material ini secara khusus hanya terdapat pada kepustakaan efilsafatan Belanda.
Apabila logika formal menyangkut dengan bentuk
pemikiran maka logika material menyangkut isi pemikiran. Dengan perkataan lain,
apabila logika formal yang biasanya disebut logika, berusaha untuk menyelidiki
dan menetapkan bentuk pemikiran yang masuk akal, logikaa material berusaha
untuk menetapkan kebenaran dari suatu pemikiran ditinjau dari segi isinya.
Dapatlah dikatakn bahwa logika formal berhubungan
dengan masalah kebenaran formal yang acap kali juga dinamakan keabsahan (jalan)
pemikiran. Adapun logika material berhubungan dengan kebenran materiil, yang
kadang-kadang juga disebut kebenaran autentik atau autentisitas isi pemikiran.
b. Kriteriologia
Istilah kriteriologia berasal dari kata kriterium
yang berarti ukuran. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ukuran untuk menetapkan
benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan tertentu. Dengan demikian,
kriteriologia merupakan suatu cabang filsafat yang berusaha untuk menetapkan
benar tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan berdasarkan ukuran tentang
kebenaran.
c. Kritika Pengetahuan
Istilah kritika
pengethuan sedikit banyk ada sangkut pautnya dengan istilah kriteriologia. Yang
dimaksud kriteria di sini adalah sejenis usaha manusia untuk menetapkan, apakah
sesuatu pikiran atau pengetahuan manusia itu sudah benar atau tidak benar
dengan jalan meninjaunya secara sedlam-dalamnya.
Jadi, secara singkat dapatlah dikatakan bahwa kritika
pengetahuan menunjuk kepada suatu ilmu pengetahuan yang berdasarkan tinjauan
secara mandalam berusaha menentukan benar tidaknya seuatu oikiran atau
pengetahuan manusia.
d. Gnoseologia
Istilah gnoseologia berasal dari kata gnosis dan
logos. Dalam hal ini gnosis berarti pengetahuan yang bersifat keilahian,
sedangan logos berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian, gnoseologia berarti
suatu ilmu pengetahuan atau cabang filsafat yang berusaha untuk memperoleh
pengetahuan mengenai hakikat pengetahuan, khusussnya mengenai pegetahuan yang
bersifat keilahian.
e. Filsafat Pengetahuan
Secara singkat dapa dikatakan bahwa
filsafatpengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang memprersoalkan
engenai masalah hakikat pengetahuan.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu ilmu kefilsafatan
yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat
pengetahuan.mengenai batasan epistemology, seperti istilah-istiah daam
filsafat, istilah ini pun tidak sedikit yang memberikan batasan dan setiap
batasan ampir mempunyai corks yang sedikit berlainan.
J.A. Niels Mulder
menuturkan, epistemologi adalah
cabang filsafat yang mempelajai soal tentang watak, batas-batas dan berlakunya
dari ilmu pengetahuan.
Jascques Veuger mengemukakan, epistemologi adalah
pengetahuan tentang pengetahuan yang kita miliki sendii buannya pengetahuan
orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang
pengetahuan orag lain. Pendek kata epistemologi ialah pengetahuan kita yang mengetahui
pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemlogi
adalah bagaian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan dan mengadakan peniaian atau pembenaran dari pengetahuan
yang teah terjadi itu.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas,
sifat, metode dan kesahihan pengetahuan. Oleh karena itu, sistematika penulisan
epistemology adalah terjadinya pengetahuan, teori kebenaran, metode ilmiah, dan
aliran teori pengetahuan.[8]
3.
Tataran
Aksiologi
Merujuk ke
asal katanya, aksiologi tersusun dari kata bahasa Yunani axios dan logos.
Axios berarti nilai dan logos artinya teori. Aksiologi adalah “teori
tentang nilai”. Nilai merupakan realitas yang abstrak yang berfungsi sebagai
daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Nilai
menempati kedudukan penting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu
tingkat di mana sementara orang lebih siap mengorbankan hidup ketimbang
mengorbankan nilai. Nilai dapat dilacak dari tiga realitas, yakni: pola tingkah
laku, pola berfikir dan sikap-sikap seorang pribadi atau kelompok.
Menurut Max
Scheler, nilai-nilai itu terbangun dalam empat peringkat yakni: nilai-nilai
kenikmatan, nilai-nilai kehidupan (kesehatan, kebugaran, kesejahteraan umum),
nilai-nilai kejiwaan (keindahan, kebenaran, pengetahuan murni yang dicapai
filsafat), nilai-nilai kerohanian(suci tak suci). Manusia memahami dengan
hatinya, bukan dengan akal budinya. Lebih jauh dikemukakan, bahwa nilai sebagai
suatu kata benda abstrak mengandung dua pengertian. Dalam pengertian terbatas
(sempit), berupa sesuatu yang baik,menarik, dan bagus. Dalam pengertian luas,
nilai mengacu kepada kewajiban, kebenaran dan kesucian.
Aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Aksiologi berhubungan dengan penggunaan ilmu pengetahuan.
Seperti dimaklumi, bahwa ilmu pengetahuan ditujukan untuk kepentingan hidup
manusia. Ilmu pengetahuan membantu manusia mengatasi permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan seharri-hari. Dengan menguasri ilmu penetahuan, manusia mampu
mengobservasi, memprediksi, memanipulasi, dan menguasai alam.
Memang sejatinya ilmu pengetahuan
digunakan bagi sebesar –besar manfaat
manusia. Manfaat bagi kehidupan manusia sebagai makhluk berperadaban yang
memiliki harkat dan martabat. Penggunaan produk ilmu pengetahuan semestinya
diarahkan pada upaya peningkata peradaban, sejalan dengan nilai kemanusiaan
yang berlaku. Jadi bukan sebaliknya. Manakala berhadapan dengan penggunaan ilmu
pengetahuan ini pula sebenarnya masalah nilai mulai dipertanyakan.
Menurut
latar belakang terbentuknya: mengapa dan untuk apa pengetahuan ada, maka
jawabannya ada di tangan manusia. Rancang bangun teori-teori ilmiah dibangun
teknologi dibuat berdasar pada teori-teori kebenaran ilmiah, semata-mata untuk
pemberdayaan nilai-nilai kebenaran ilmiah, yaitu kemanfaatan bgi kelangsungan
kehidupan dan bagi tercapainya tujuan kehidupan.
Tatanan
nilai seperti ini pula yang sering dilupakan manusia dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dan aspek ini pula yang jadi objek kajian aksiologi,
yakni hubungan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sistem nilai.[9]
D.
Jenis-jenis pendekatan dalam kajian filsafat
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan filsafat dapat dilakukan melalui
berbagai pendekatan. Secara umum, pendekatan yang diambil dapat dikategorikan
berdasarkan sudut pandang terhadap filsafat, yaitu filsafat sebagai produk dan
filsafat sebgai proses. Sebagai produk artinya melihat filsafat sebagai
kumpulan pemikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh filsuf, sedangkan sebagai
proses artinya filsafat sebagai suatu bentuk/cara berfikir yang sesuai dengan
kaidah-kaidah berfikir filsafat.
Menurut Donny Gahral Adian, terdapat empat pendekatan dalam
melihat/memahami filsafat yaitu:
Ø Pendekatan Definisi
Ø Pendekatan Sistematika
Ø Pendekatan Tokoh
Ø Pendekatan sejarah
Ø Pendekatan Definisi
IV.
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah yang saya buat. Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari
masih banyak kekurangan dan apabila terdapat kesalahan dalam penulisan maupun
penyampaiannya, maka kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
untuk memperbaiki makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca pada umumnya dan bagi para penulis pada khususnya. Amiin.
Komentar
Posting Komentar